Sara... tolong aku!

Lagi-lagi aku terbangun di tengah malam. Dengan nafas yang tidak teratur dan keringat dingin membasahi sekujur tubuh, ini semua karena mimpi buruk yang selalu menghampiri tidurku setiap malamnya. Bayangan dari mimpi-mimpi buruk itu masih terlintas di depan mataku, seolah aku tengah menonton film-film horor layaknya di televisi. Terlihat dengan jelas bagaimana runtut kejadian di sana. Sehingga membuat bulu kudukku merinding.

“Selalu tengah malam. Kenapa selalu terbangun di waktu ini, sih?” ucapku seraya berjalan keluar dari kamar. Menuju ke dapur untuk mengambil segelas air minum.

Semenjak keluargaku memilih pindah ke rumah ini, sejak itulah aku mulai bermimpi buruk. Perasaanku terhadap rumah ini memang sudah buruk saat pertama kali melihatnya. Aku tak dapat menolak Ayah karena dia juga lelah bekerja demi mendapatkan rumah kayu ini. Yang aku tahu rumah sebesar ini tetapi harganya sangat murah. Sehingga Ayah mampu membelinya.

Aku berjalan menuju ruang keluarga untuk menonton televisi. Tidak peduli saat ini jam berapa. Karena, kalau sudah bermimpi seperti itu, aku tidak akan pernah bisa tertidur lagi.

“Steffen? Kamu di sini?” ucapku seraya mendekati Steffen yang terduduk di sofa keluarga.

Steffen tetap bergeming, seraya menatap televisi yang menyiarkan acara malam . Tidak. Aku rasa, tatapannya kosong. Sepertinya, dia belum sepenuhnya bangun dari tidurnya. Hal ini membuatku tertawa geli, kemudian aku menggoyangkan tubuhnya agar dia cepat tersadar.

“Steff, wake up!” ucapku seraya tertawa geli. Dia masih tetap terdiam tidak membalas perlakuanku. Biasanya, dia akan membalas perlakuanku dengan lebih kejam. Ah, kakak yang jahat.

“Sara? Kamu ngapain ketawa sendiri?”

Sontak suara tersebut menghentikan gerakanku. Suara tadi itu milik Steffen yang berasal dari belakang tubuhku. Aku menoleh ke arah belakang dengan perlahan, dan betapa terkejutnya aku mendapati tubuh Steffen tengah berdiri di belakangku seraya menguap. Lalu, dengan cepat aku kembali melihat Steffen yang tadi berada di sampingku. Dan ternyata... kosong. Tidak ada siapa-siapa di sebelahku.

“Steff? Kamu, ngapain di situ? Bukannya...," tanyaku terbata-bata karena ketakutanku.

“Aku baru saja terbangun. Lalu dengar kamu ketawa-ketawa sendiri, jadi aku ke sini. Ngapain, sih?”

Seketika itu juga, aku tersadar. Kenapa Steffen yang tadi tidak membalas perlakuanku, tatapannya kosong, dan dia selalu diam. Steffen yang tadi adalah, gadis berambut panjang yang selalu menghantui tidurku. Dia telah menjelma menjadi sosok Steffen malam ini. Kini, perasaanku mulai kacau akibat kejadian ini.

**

Tiba-tiba saja aku sudah berdiri di atas rerumputan hijau. Aku mengamati sekeliling, terlihat rumah kayu dengan cat yang masih baru. Rumah itu, sepertinya tidak asing bagiku. Aku melangkahkan kakiku menuju rumah kayu tersebut.

Sampai di teras rumah ini, aku mendengar suara jeritan perempuan. Sontak, aku segera berlari masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan suara tersebut. Dan aku tersadar, rumah ini adalah rumahku. Walaupun terlihat berbeda karena rumah ini sepertinya masih baru dan terlihat apik.

Lagi-lagi jeritan tersebut terdengar, dan perasaanku menunjukkan suara tersebut berasal dari kamarku, maksudnya kamar yang sekarang aku tempati. Aku segera berlari menaiki tangga lalu membuka pintu kamarku.

Mataku membulat setelah melihat pemandangan di depanku. Segerombolan laki-laki berbaju hitam tengah membunuh gadis yang sepertinya seumuran denganku. Mereka menancapkan pisau dengan mudahnya ke tubuh gadis itu yang sudah tidak berdaya.

Apa-apaan ini! Ini, ini mimpi buruk!

Lalu, aku melihat salah satu lelaki tersebut mencongkel paku yang menancap pada lantai kayu ini. Mereka sepertinya membongkar lantai kayu ini beberapa papan. Lalu, setelah itu dia menaruh mayat gadis itu di bawah lantai. Mataku membulat melihat ini, betapa teganya perlakuan mereka. Setelah itu, dia menutup kembali lantai tersebut dengan rapi. Seolah, itu adalah kuburan gadis tersebut.

Kita mendapatkan hartanya! Ayo, kita rampas semua barang-barang di rumah ini, sebelum orang tuanya datang!” ucap laki-laki tersebut.

Aku segera berlari keluar dari rumah ini. Berharap di duniaku aku cepat terbangun. Tidak ingin melihat lebih jauh lagi. Cukup, aku mengerti kenapa gadis itu selalu meminta pertolonganku di dalam mimpiku.

Tiba-tiba aku tersentak dan aku merasakan tubuhku terbawa oleh sebuah portal. Portal ini menyedotku hingga rasanya tubuhku seperti terpelintir. Sekejap, aku sudah berada di kamarku dengan nafas yang memburu. Dan aku hanya bermimpi di tengah malam, seperti biasanya. Aku menatap ke sekeliling kamarku ketika kesadaranku mulai membaik. Mengingat mimpiku tadi, bulu kuduk di sekujur tubuhku bergidik. Lalu, saat aku benar-benar telah sadar, aku berteriak kencang. Dan karena teriakanku, Steffen kini sudah membuka pintu kamarku dengan cepat.

“Ada apa?”

“Ada... mayat... di bawah... sini, Steff!”

Steffan tertawa, dia tidak begitu percaya. "Kamu ngigau ya?"

Dengan cepat aku menggelengkan kepala, "tidak, ini sungguhan. Satu bulan ini, tepatnya kita menghuni rumah ini, aku selalu dihantui oleh mimpi buruk dan bayangan-bayangan hitam. Juga suara gadis yang selalu meminta tolong. Kamu ingat? Tadi malam aku tertawa sendiri? Itu karena aku melihat kamu ada di sampingku Steff, tetapi kelakuanmu aneh jadi aku tertawa. Tapi, ternyata kamu ada di belakangku."

"Jadi, benar di sini ada mayat?"

"Di mimpiku seperti itu, Steff. Kalau kamu tidak percaya, ambil alat yang dapat membuka lantai ini."

"Aku percaya, aku telepon polisi dulu."

Akhirnya polisi datang untuk menyelesaikan kasus ini. Tidak mungkin aku dan Steffen yang membongkar lantai pada kamarku. Terlalu menyeramkan. Ternyata mayat tersebut sudah membusuk dengan beberapa tusukan di sekujur tubuhnya. Hal itu membuatku merinding.

Mataku tertuju pada gadis yang berdiri di sudut kamarku. Dia tersenyum, ternyata dia cantik juga. Lalu, aku seperti mendengar kata-katanya yang menggema di seluruh sudut kamarku.

“Terimakasih, Sara.”


Dan aku hanya membalas senyuman untuknya dan setelah itu sosok gadis berambut panjang sudah tidak nampak lagi. Selanjutnya, aku tidak lagi bermimpi buruk.

karya : Laelyta Ika


Tema : Musim Sakura

Pandanganku terpana melihat mekarnya bunga sakura di luar jendela kaca kedai kopi ini. Senyum terlihat jelas pada wajahku saat ini. Tentu saja. Karena hari-hari dingin dan tidak bersahabat telah berakhir dan tergantikan dengan hari-hari kehangatan yang diselimuti oleh bunga sakura. Membuat siapapun bahagia dengan kedatangan musim semi.

Termasuk diriku. Aku bahagia musim semi datang membawa kehangatan bunga sakura. Karena aku merasa, di sini namaku lebih hidup. Akina, bunga musim semi. Nama yang membawa banyak keberuntungan bagiku.

Sembari menikmati suasana di luar kedai, aku menyesap secangkir Capuccino yang baru aku pesan lima menit yang lalu. Capuccino inilah yang menemaniku sebelum seseorang datang menepati janjinya.

Tepat saat aku meletakkan cangkir di atas meja, seseorang menghampiriku dengan senyuman yang cerah. Dia segera duduk di kursi yang terletak di kanan meja.

Kon'nichiwa Akina. Maaf telah membuatmu menunggu,” sapanya setelah dia berhasil duduk.

“Ah tidak Haruo. Aku baru sepuluh menit di sini.”

Haruo, laki-laki yang terlahir pada musim semi. Dia laki-laki yang aku suka. Hanya karena dia baik, sopan dan tidak terlalu serius dalam perbincangan. Tapi, sepertinya dia tidak tahu bagaimana perasaanku padanya.

Kami memang bertemu di sini hanya sekedar untuk perbincangan sederhana. Dan sesekali menyerempet ke arah tugas sekolah yang terkadang membebani kami. Tapi, mengingat Haruo pintar dalam bidang akademik, aku meragukan dia kesulitan dengan tugas sekolah.

“Akina, minggu depan ada Festival Hanami. Apa kamu mau datang bersamaku?”

Ya, aku sudah tahu tentang itu. Festival Hanami. Hanami adalah kesempatan langka piknik beramai-ramai di bawah pohon sakura untuk menikmati mekarnya bunga sakura. Saat melakukan hanami adalah ketika semua pohon sakura yang ada di suatu tempat, semua bunga bermekaran.

“Baiklah. Aku akan datang bersamamu,” ucapku pada akhirnya setelah lama aku berpikir.

Haruo terlihat senang saat aku menyetujui ajakannya. “Hari sudah mulai gelap, sebaiknya kita pulang. Akan aku antar kamu sampai rumah, ya?”

“Tidak perlu Haruo, aku masih mampu pulang ke rumah sendiri.”

“Baiklah, hati-hati Akina! Sayonara Akina,” ucap Haruo seraya melenggang pergi dari kedai.

Aku mengangguk seraya tersenyum. “Sayonara Haruo!”

***

Hari ini, halaman di sekolah yang tumbuh pohon-pohon musim semi mulai bermekaran. Termasuk pohon sakura yang sepertinya lebih banyak dari pohon semi yang lainnya. Warna-warni bunga semi menghiasi halaman sekolahku.

Dengan langkah santai, aku menuju ke kelasku yang terletak di samping halaman ini. Jadi, dapat sesekali mencuri pandangan ke arah luar jika saja pelajaran mulai membosankan. Sebelum aku sampai di kursiku, terlebih dulu aku menuju loker yang terletak di dinding belakang.

“Akina, bagaimana harimu?”

Suara Hikana sedikit mengejutkanku. Dia adalah teman sebangkuku di kelas ini. “Hariku sangat bahagia,” ucapku seraya membuka pintu loker milikku.

“Wah, apa itu? Sepertinya kamu mendapat surat!”

Ucapan Hikana benar. Ada amplop merah yang terselip di antara buku-bukuku di dalam loker ini. Setahuku, aku tidak menyimpan amplop merah ini di dalam loker.

“Dari siapa Akina? Ayo buka!”

“Hikana, tolong kecilkan suaramu ya?” gertakku karena dia terlalu histeris. Padahal aku biasa saja menanggapi hal ini.

Perlahan aku membuka amplop tersebut, di dalam amplop tersebut ada selembar kertas berwarna soft pink dan terdapat gambar sakura di ujung kertas. Lalu, pandanganku membaca tulisan di dalam kertas ini.

Akina,

Kon’nichiwa Akina. Aku akan menanyakan satu hal padamu di kertas ini. Dan mungkin, jika aku berani aku akan menanyakan lagi di Festival Hanami besok. Baiklah, aku harap kamu tidak menilaiku terlalu takut untuk berbicara di depanmu.
Watashi wa, Akina no anata o aishite. Aku mencintaimu Akina, sudah lama aku mempunyai rasa ini. Aku takut untuk mengatakan padamu secara langsung. Takut jika kamu menganggap hal itu adalah sebuah lelucon.
Apakah kamu mencintaiku, Akina?

Haruo.

Setelah selesai membaca surat dari Haruo, aku melipat kembali kertas tersebut dan memasukkan lagi ke dalam amplop merah. Aku yakin, wajahku sudah memerah malu, terbukti dengan Hikana yang mulai menggodaku.

“Haruo, akhirnya dia menyatakan cintanya padamu! Lalu, bagaimana jawaban kamu, Akina?” tanya Hikana seraya menaik turunkan alisnya.

“Sudahlah Hikana. Apa aku perlu memberitahukan kepadamu? Aku yakin kamu sudah mengetahui jawabanku,” ucapku seraya melenggang pergi dari kelas dan tidak lupa membawa amplop merah ini.

Masih dapat aku dengan ketawa Hikana yang begitu membahana. Dia memang senang menggodaku. Apalagi jika sudah berkaitan dengan Haruo. Laki-laki yang sudah lama kunantikan. Dan pada akhirnya, dia juga mencintaiku.

Aku berjalan menuju halaman di depan kelasku. Duduk di salah satu bangku panjang yang terletak di bawah pohon sakura. Sesekali aku melihat amplop merah yang ada di tanganku. Berharap ini memang nyata dan tidak dalam khayalanku saja.

Kemudian, aku simpan amplop merah ini di dalam saku seragam putih abu-abu yang kini aku kenakan. Tidak ingin Haruo melihatku yang tengah membawa amplop ini. Biarkan dia mendapat jawabannya di minggu depan. Aku ingin membuat dia menunggu.

***

Minggu lalu berlalu, kini hari yang aku tunggu datang juga. Hari di mana aku dan Haruo pergi bersama mengunjungi Festival Hanami. Dan tentu, hari di mana aku menjawab pertanyaannya.

Aku menatap bayangan diriku di dalam cermin, melihat lagi pakaian yang kini aku pakai untuk datang ke festival itu. Dress soft pink selutut, dengan rajutan di lengan panjangnya. Kemudian, rambut panjangku yang aku biarkan tergerai. Lalu, pantovel mengkilap berwarna merah muda.

Setelah semua baik-baik saja, aku segera keluar dari rumah dan menuju tempat bertemu kami. Ternyata di sana Haruo sudah berdiri di bawah pohon bunga seruni dengan kemeja merah yang dia kenakan.

Aku menghampirinya yang tengah menunjukkan senyum padaku. “Haruo, kita berangkat sekarang?” tanyaku seraya membalas senyumnya. Haruo mengangguk dan segera meraih tangaku untuk berjalan bersama.

Sesampainya di festival, aku melihat semua orang telah menikmati festival tersebut. Semua yang ingin menikmati keindahan bunga sakura sudah menempatkan diri di bawah naungan pohon sakura. Menikmati semilir angin yang berhembus.

Aku tersenyum pada Haruo. Lalu menarik tangannya dengan lembut menuju salah satu bangku panjang yang masih kosong.

“Haruo, tentang pertanyaan itu, aku akan menjawabnya.”

Ucapanku membuar Haruo terdiam. Lalu, aku meneruskan perkataanku.

“Sudah lama aku menyukaimu, tetapi tidak ada waktu untuk aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku. Haruo, aku pun mencintaimu.”


Musim semi kali ini, berbeda dengan musim semi yang lalu. Akina dan Haruo telah bersama. Bunga musim semi bertemu dengan musim semi. Menemukan tempat yang sesuai dengan dirinya. Bermekaran indah di saat musim semi.


karya : Laelyta Ika

Tema : Horor
Aku tidak pernah tahu jika ada seseorang yang menempati rumah kosong di depan rumahku. Atau sejak kapan rumah kosong itu berubah menjadi rumah tidak kosong. Padahal, yang aku tahu, selama ini tidak ada truk pengantar barang yang berhenti di depan rumahku. Jika saja ada, aku pasti akan mengetahui karena jendela kamarku tepat menghadap ke gerbang rumah tersebut.

Bahkan, kini ada gadis cantik sedang mendekatiku dengan wajahnya yang penuh senyuman. Dia mendekatiku yang masih berdiri di samping pintu gerbangku. Lalu, tangannya terulur berniat berjabat tangan.

“Hai, namaku Sophia. Siapa namamu?”

Aku termangu. Bukan, bukan karena dia terlalu cantik. Tetapi, dia terlalu aneh untuk gadis di masa kini. “Ah, namaku Iren,” ucapku seraya meraih tangannya.

Dia tersenyum, menatapku dalam namun kosong. “Aku ingin berteman, apa kamu mau jadi temanku?”

“Tentu saja, kamu bisa berteman denganku mulai hari ini. Kita kan tetangga, jadi lebih mudah untuk sering bertemu,” ucapku senang.

“Baiklah. Kita akan bermain bersama.”

Aku hanya tersenyum tipis saat tiba-tiba hawa di sekitarku berubah mencekam. Entah itu perasaanku atau memang karena hujan besar akan segera tiba. Aku meninggalkan Sophia di luar saat suara Mama memanggilku. Dan saat aku berbalik untuk menyapanya kembali, dia sudah kembali ke rumahnya. Sekilat itu dan begitu saja.

**

Sophia bukanlah gadis yang sering kutemui di sekolahku. Dia berbeda. Dan dia sedikit kaku untuk seorang gadis. Juga, wajahnya yang cantik seperti orang Belanda. Dia mengakui bahwa ayahnya dari Belanda dan ibunya dari Indonesia. Maka dari itu dia menuruni fisik ayahnya.

Tetapi, yang masih aku herankan sampai saat ini, Sophia selalu menatap kosong jika dia menatap mataku. Aku tidak melihat kehidupan di kedua mata Sophia, seolah dia adalah gadis yang menyedihkan.

“Kamu tahu? Selama ini, aku hanya mempunyai kamu sebagai temanku, Iren.”

Aku terhenyak, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sophia. Gadis secantik dia tidak mungkin tidak memiliki teman, bahkan jika dia bersekolah di sekolahku, semua laki-laki akan tertarik padanya. Aku yakin itu.

“Tidak ada yang mau berteman denganku. Semua pergi. Bahkan, kedua orang tuaku.”

Lagi-lagi aku terhenyak, arti dari tatapan matanya memang benar. Dia gadis yang menyedihkan nan malang. Aku mendekatinya dengan hati-hati, mengusap tangan putih pucatnya.

“Kamu tenang, masih ada aku. Aku akan selalu ada buat kamu.”

“Aku percaya itu,” ucap Sophia.

Aku mengangguk, kemudian memeluk tubuhku yang terasa mulai merinding semenjak aku menginjakkan kaki di rumah Sophia. Rumah ini masih berhawa mencekam dan dingin. Aroma lumut dan usang masih tercium di indra penciumku.

“Sophia, rumahmu masih terlihat kotor. Apa, tidak sebaiknya kamu bersihkan?”

Sophia tersenyum simpul, dia kemudian menatapku. “Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, Iren.”

Aku mengangguk saja. Lagi pula, dia memang sukanya seperti ini dan aku tidak akan mengganggunya. Lalu pandanganku tertuju pada lukisan danau yang begitu indah yang tergantung di dinding. Lukisan tersebut sangat indah, bahkan seperti nyata.

“Ini danau yang sangat indah,” ucapku pada akhirnya seraya meraba-raba lukisan tersebut.

“Kamu suka? Kita akan ke sana sekarang.”

Aku berbalik, menatap Sophia dengan tanda tanya besar. “Sekarang? Apa perlu berjam-jam kita ke sana?”

“Hanya butuh satu detik untuk kita ke sana. Ikut aku.”

Mataku tidak terlepas dari gerak-gerik Sophia, dia kini menuju lukisan tersebut. Tangan kanannya menyentuh bagian tengah lukisan tersebut, kemudian dia memejamkan mata seraya menggenggam tanganku erat.

Aku tersentak saat tiba-tiba tubuhku seperti tersedot oleh lukisan ini dan seketika itu, saat aku membuka mata, hamparan danau lah yang kini ku lihat. Bukan lagi rumah Sophia dan lukisan yang menggambarkan danau di depanku ini.

“Apa ini? Apa yang kamu lakukan! Siapa kamu!” teriakku kencang, Sophia hanya tersenyum simpul.

Dia berjalan menuju tepi danau. Kemudian dia menoleh ke arahku dan mengarahkan telunjuknya pada sesuatu. “Lihatlah, gadis itu adalah gadis yang menyedihkan. Bahkan, gadis itu sampai bunuh diri akibat membenci kehidupannya.”

“Hentikan dia, jangan sampai bunuh diri!” teriakku mencoba berlari menuju ujung dermaga di danau ini.

“Sudah terlambat Iren. Gadis itu sudah mati.”

Aku berhenti berlari saat gadis tersebut terjun dengan mudahnya ke danau tersebut. Setelah itu, air danau berubah tenang seolah gadis tersebut tidak melakukan perlawanan. Dia pasrah dengan kematiannya.

“Sophia, aku benar-benar tidak tahu apa maksud dari semua ini!” teriakku lagi saat pikiranku kembali ke masalah utama.

“Maafkan aku Iren. Inilah tempat kita bermain sekarang. Kamu sudah berjanji akan selalu ada untukku, dan kamu berjanji akan menjadi temanku bermain. Jadi,” ucapan Sophia terhenti. Dia menatapku dengan tatapan kosongnya. “Bermainlah denganku di sini.”

Aku terduduk lemas saat mengetahui diriku tidak lagi ada di duniaku. Maksudku, dalam duniaku, aku sudah tidak bernyawa lagi. Aku baru menyadari bahwa firasat burukku selama ini adalah karena aku tak lagi bernyawa semenjak Sophia mengatakan ‘kita akan bermain bersama’.

Aku menangis di sini, menangisi kebodohanku yang terlalu tidak dapat aku tebak. Tidak pernah aku menginginkan akan mati seperti ini. Bahkan, tidak pernah aku bayangkan sebelumnya bahwa aku meninggalkan Mama, Papa bahkan semua orang yang aku sayangi secepat ini.

Hanya untuk bermain dengan Sophia, gadis yang kesepian, yang sangat membutuhkan teman.

Untuk kalian, lebih berhati-hatilah memilih teman. Jangan salah berteman sepertiku dan pada akhirnya aku telah mengorbankan nyawaku sendiri.


karya : Laelyta Ika



Tema : Selamat Tinggal Masa Lalu
Aku tidak pernah menginginkan hal ini terjadi dalam kehidupanku. Bahkan, sebelumnya tidak pernah terpikirkan akan menjadi sekacau ini jalan hidupku. Kacau dalam arti rusak. Rusak dalam arti tak dapat diperbaiki kembali.

Jika sudah rusak, aku harus bagaimana lagi?

Empat tahun aku hidup dengan keterpurukan. Penyesalan menghampiri diriku setiap harinya. Kekecewaan selalu aku alami pada diriku sendiri. Tak pernah aku sedih selarut ini hanya untuk memikirkan masa laluku yang kelam.

Pikiranku terus terganggu tentang bagaimana mengembalikan kehidupanku menjadi kehidupanku yang jauh sebelum hal ini terjadi. Di mana semua yang ada pada diriku tidak pernah tersentuh. Di mana aku masih dapat tersenyum dan membayangkan keindahan masa depanku. Di mana hal ini tidak ada dalam pikiranku.

Aku ingin, ingin mengulang waktu. Tapi, apa hakku untuk mengubah takdir dan mengulang waktu yang jelas-jelas tak dapat dikembalikan.

Selama ini, aku hidup dengan topeng kebahagiaan. Topeng yang menandakan diriku baik-baik saja. Topeng yang selalu menyembunyikan air mataku. Topeng yang mengatakan kebohongan belaka kepada semua orang.

Dan aku tahu, topeng ini tidak berlaku bagi orang yang aku anggap sahabat. Dia tidak melihatku dari topeng yang selalu aku kenakan, namun melihatku dari hati yang paling dalam. Dia, satu-satunya orang yang mengetahui masa laluku. Masa lalu yang benar-benar pahit. Hanya dia. Bahkan, mungkin aku tidak akan mempunyai keberanian untuk mengatakan ini pada kedua orang tuaku.

“Masa lalu memang tak akan pernah bisa dilupakan. Tetapi, mencoba untuk bangkit dari masa lalu apa sulitnya?” ucap sahabatku seraya menepuk bahuku.

Aku menunduk, menatap ujung sepatuku yang usang. “Aku takut, takut jika aku bangkit, semuanya tetap sama.”

“Kalau kau tetap di sini saja. Kapan masa lalu itu akan pergi? Memang kau tidak bisa merubah takdirmu kini, tapi kini yang bisa kau lakukan hanya bangkit dari masa lalu. Tinggalkan masa lalu itu dan hadapi masa depan yang masih banyak kebahagiaan di sana. Tenanglah, aku akan selalu di sisimu. Kita akan hadapi masalah ini sama-sama.”

Aku menggeleng. “Ini masalahku.”

“Tapi aku sahabatmu, ingat itu.”

“Apa jika aku percaya, aku akan menemukan kebahagiaanku nanti? Walaupun aku tak lagi suci?”

Sahabatku tersenyum, dia menepuk bahuku. “Ada pepatah berkata, ‘ambillah pelajaran dari kesalahan masa lalumu, dan lupakan rasa sakitnya’. Kau harus percaya pepatah itu. Dan ayo, bangkit dari keterpurukanmu selama ini.”

Lalu, pelajaran apa yang aku ambil dari masa laluku? Pelajaran bahwa aku harus hati-hati? Bahwa aku harus lebih menjaga diriku yang sudah terlanjur rusak ini?

Lagi-lagi aku tertampar pada kenyataanku. Kenyataan yang mengatakan bahwa aku lalai dalam menjaga ‘kesucian’ ini. Air mata kelelahan menetes dari pelupuk mataku, lelah dalam menghadapi kerumitan ini.

“Aku yakin, masa depanmu akan lebih baik dari masa lalumu. Jika kau benar-benar yakin dengan masa depanmu.”

Aku mengangguk, mengusap air mataku yang terlanjur lolos. Benar. Jika aku percaya, pasti aku akan bahagia. Tenanglah. Masih ada sahabatku, dan tentunya orang tuaku yang buta dengan masa laluku. Aku yakin, mereka masih mau membantuku untuk lebih baik lagi.

“Aku ingin menjaga auratku. Aku ingin lebih tertutup. Dan aku akan lebih menjaga diriku saat ini. Bantulah aku, bantu aku untuk bangkit dari masa lalu. Jangan pernah lelah untuk memberiku saran dan semangat hidup. Karena kamu sahabatku. Orang yang mengerti masa laluku.”

“Aku berjanji. Kita akan hadapi ini sama-sama. Karena, kita adalah sahabat.”

Semenjak hal itu, tidak ada lagi tangisan penyesalan, tidak ada lagi pikiran negatif yang akan mempengaruhi masa depanku, tidak ada lagi orang yang dapat menjamah tubuhku. Karena, aku yakin dan aku pasti bisa.

Dear past, thank you for all the lessons. Dear future, I’m now ready. Ready to be better.

Bassed on my friend’s story.


karya : Laelyta Ika 


Tema : Home

Walaupun ada banyak tempat untukku berteduh, aku tidak akan mengunjunginya, karena aku sudah memilikimu sebagai tempatku berteduh dengan nyaman.

“Apa yang sedang ia lakukan!” gertakku akibat emosi. Aku terus menggeram kesal disaat nomor yang aku hubungi tidak kunjung dia angkat. Hanya ada suara dari operator yang membalas setiap aku menghubungi nomornya.

Sempat aku berpikiran negatif kepada suamiku sendiri akibat dia tidak menghubungiku dua hari ini. Terakhir kali yang aku tahu, dia ada rapat penting di kantor cabangnya.

Andai saja dia tidak di pindahkan tugas ke kantor cabangnya, pasti aku tidak akan sekhawatir ini. Apalagi, yang aku dengar dari sekretarisnya, asisten pribadi suamiku adalah perempuan yang sangat cantik. Mungkin melebihi diriku.

Tidak apa-apa jika suamiku tidak terpikat pada perempuan itu, tetapi, perempuan manapun tidak akan mengabaikan wajah tampan milik suamiku. Tidak akan. Pasti, dan aku yakin perempuan itu mencuri-curi kesempatan agar dapat berduaan dengan suamiku.

“Ahh! Hentikan semua pikiran buruk ini!” teriakku frustasi. Sebenarnya, aku tidak boleh seperti ini, ini akan membahayakan kandunganku yang masih muda. Ini akan berakibat fatal jika aku terlalu frustasi.

Perlahan aku menepis bayangan-bayangan negatif tentang suamiku. Aku yakin, dia masih tetap setia dan selalu menepati janjinya pada ijab qabulnya tiga bulan yang lalu. Aku yakin, dia mampu menjaga mata, hati dan fikirannya saat tidak bersamaku.

“Nak, doakan Ayahmu agar dia baik-baik saja ya,” ucapku seraya mengusap perutku yang mulai membuncit.

Aku berjalan menuju kamar, berniat untuk beristirahat dan menyegarkan pikiranku kembali. Dan aku harap, setelah aku terbangun nanti, dia sudah memberikanku kabar yang jelas.

**

Maafkan aku karena terlambat menghubungimu.”

Aku memejamkan mataku, amarah yang ingin kuluapkan seketika hilang sudah saat mendengar suara lembutnya. Aku terlalu mencintainya hingga pada akhirnya aku tidak dapat memarahinya.

“Aku merindukanmu, kemana saja kamu dua hari ini?” ucapku seraya menggenggam erat ponsel yang ada di tanganku. Tidak ingin aku melewati sedetik pun waktu saat telepon ini terhubung.

Aku benar-benar sibuk. Maafkan aku.”

Tidak terasa air mataku menetes juga, aku sangat merindukannya. Satu bulan penuh dia tidak pulang. Dia sibuk bekerja di kantor cabangnya. Sejujurnya, aku sangat khawatir dan ingin ikut dia kesana. Tetapi, apa daya, aku terlalu menuruti kata-katanya.

Hei, kau menangis? Aku mendengar suara isakmu. Janganlah menangis sayang, aku tetap setia padamu.”

Ku gunakan punggung tanganku untuk menghapus air mataku. “Tidak, aku hanya merindukanmu hingga air mataku menetes.”

Sssht, tenang lah. Aku selalu padamu. Nanti malam aku usahakan pulang. Aku juga merindukanmu.”

Senyum kecil terukir pada wajahku. “Benarkah? Aku akan menyiapkan sarapan yang enak untukmu nanti. Cepatlah pulang, aku tidak sabar ingin memelukmu.”

Terdengar suara tawa kecil dari suamiku. “Kau masih saja manja ya. Baiklah, aku akan segera pulang. Sudah dulu ya, aku akan membereskan barang-barangku dan membereskan pekerjaanku sebelum kutinggali. Sampai nanti.”

Sambungan telepon terputus, aku meletakkan kembali ponselku di atas nakas. Lalu, kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 sore. Segera aku menuju kamar mandi karena aku belum sempat mandi saat bangun tidur sudah ada panggilan dari suamiku.

**

Aku terduduk lemas di kursi teras rumah, sudah menjelang pagi hingga siang tetapi Anggra tidak kunjung datang. Membuatku cemas karena takut dia kenapa-kenapa. Makanan yang aku siapkan pun juga sudah dingin dan tidak enak untuk dimakan.

“Anggra, dimana kamu?”

Aku membolak-balikkan ponselku. Tidak ada kabar darinya setelah telepon sore hari itu. Aku terdiam, tatapan mataku tak lepas dari gerbang depan rumahku. Berharap gerbang itu terbuka dan memperlihatkan mobil Anggra.

Saat aku hampir putus asa menunggu, akhirnya suara klakson mobil Anggra terdengar di indra pendengarku. Sontak aku tersenyum senang saat mobil itu sudah terparkir di depan rumah.

“Anggra!” teriakku senang hingga meneteskan air mata.

Laki-laki itu keluar dari mobilnya dan segera mendekatiku. Aku mendekap tubuhnya saat dia menarikku ke dalam pelukannya. Wangi parfumnya langsung tercium oleh hidungku, dan salah satu yang kurindukan adalah ini.

“Anggi, maaf aku pulang terlambat. Karena, pesawat yang aku tumpangi terlambat terbang. Jadi aku harus menunggu satu jam lagi agar dapat pulang.”

Aku mengangguk dalam tangisku, membiarkan jas Anggra basah oleh air mataku. “Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Aku takut kamu tidak akan pulang, aku takut bahwa kamu akan memilih rumah yang lain daripada rumah kita. Mungkin karena kamu terlalu lama di sana hingga akhirnya kamu nyaman disana dan enggan kembali.”

“Tidak Anggi. Tidak ada tempatku berpulang selain rumah ini. Tidak ada yang lain yang membuatku nyaman di sini, karena hatimu. Hatimu lah salah satu alasanku kenapa aku tidak nyaman saat jauh dari rumah ini. Karena, hatimu adalah tempatku berteduh dengan nyaman. Hati ini yang selalu membawaku pulang.”

Aku tersenyum bahagia mendengar penjelasan darinya. Dia terlalu romantis dan kerap kali membuat pipiku merona merah. Aku mendongak masih dalam dekapannya. “Makanan sudah dingin, apakah kamu ingin makanan yang lain?”

“Panaskan saja. Aku tidak mau membuang hasil jerih payahmu. Ayo kita makan. Aku merindukan masakanmu, Anggi.”

karya : Laelyta Ika