Tema : November RainMalam ini, hawa dingin menusuk kulitku hingga rasanya sampai ke tulang. Sesekali aku merapatkan jaketku agar kehangatan tetap terjaga dari jaket ini. Kepalaku mendongak, melihat awan gelap yang sepertinya menandakan malam ini akan ada hujan datang.
Tidak
terasa sudah tigapuluh menit aku berdiri di trotoar pinggir jalan. Menunggu
kedatangan seseorang yang tidak kunjung datang. Akhirnya, aku memutuskan untuk
berhenti menunggu. Takut jika hujan akan turun tiba-tiba.
Aku
berjalan meninggalkan trotoar dengan sesekali menggosok kedua telapak tanganku,
agar kehangatan tercipta. Mengingat saat ini sudah memasuki bulan yang penuh
hujan. November, bulan yang identik dengan hujannya.
Pim…
Pim…
Suara
klakson mobil mengejutkanku. Lampu mobil menyorot diriku sehingga saat aku
berbalik, mataku menyipit karena silau. Melihat seseorang yang ada di dalam
mobil, seketika aku mendengus sebal.
Aaron,
laki-laki yang selalu tidak tepat waktu.
Merasa
kesal karena dia hanya berdiam diri di dalam mobil tanpa ingin keluar
menghampiriku, aku memutuskan untuk melenggang pergi. Tidak menghiraukan suara
klakson mobilnya yang menggema. Dia harus dilatih untuk peka terhadap keadaan.
Jangan selalu bersikap dingin kepada semua orang. Termasuk diriku.
Tiba-tiba,
tanganku tertarik ke belakang dan tubuhku tersentak hingga berbalik. Air muka
terkejut tercetak jelas di wajahku. Mataku membulat seketika saat tiba-tiba
sepasang mata menatapku dengan tajam berada di depan mataku.
“Kenapa
kamu nggak masuk malah pergi?” tanya Aaron dengan suara dinginnya.
“Kamu
lama. Jadi aku pergi,” jawabku tak kalah dinginnya.
“Maaf,”
ucapnya seraya melepaskan tangannya dari tanganku.
Aku
hanya memalingkan wajahku darinya. Tidak sanggup untuk lebih lama menatap mata
tajam milik Aaron. Laki-laki yang belum lama ini aku sukai. Seharusnya, rasa
itu tidak pernah ada. Tapi, perasaanku cukup nakal.
“Ayo,
kita pulang,” ucapnya seraya menarik tanganku, kali ini dengan lembut. Dia
menuntunku hingga aku masuk ke dalam mobilnya.
Selama
di dalam mobil, aku hanya terdiam menatap kosong. Mengatur detak jantungku yang
entah mengapa terasa sangat cepat. Menandakan bahwa aku masih memiliki rasa itu pada Aaron. Dan ternyata rasa ini
belum hilang. Mungkin tidak dapat hilang jika aku tidak bertindak.
"Mama
tadi nyariin kamu, dia khawatir,” ucap Aaron tiba-tiba. Menghancurkan dinding
kecanggungan yang ada.
“Aku
sudah bilang kalau aku main ke rumah temen. Kamu aja yang telat jemput aku,
jadinya lama,” jawabku.
Tidak
ada lagi suara dari Aaron. Dia sibuk mengendarai mobil yang sudah memasuki
lingkungan rumah. Setelah mobil Aaron berhenti di depan teras rumah, segera aku
turun tanpa sepatah katapun yang aku ucapkan padanya. Aku terus memasuki rumah
dan hendak menaiki anak tangga jika saja suara Mama tidak menginterupsi
gerakanku. Aku menoleh, mencari keberadaan Mama yang ternyata tengah duduk di
sofa ruang keluarga.
“Rian?
Di mana kakakmu?”
Untuk
kesekian kalinya, lagi-lagi aku tertampar kenyataan. Kakak. Laki-laki yang aku
sukai, dia adalah kakak tiriku. Aku tersenyum miris memikirkan hal ini.
Walaupun hanya seorang kakak tiri, tapi tetap saja perasaan ini tabu untuknya.
“Dia
sedang memarkirkan mobil, Ma. Rian ke kamar dulu ya?”
Aku menaiki satu-satu anak tangga. Kemudian
memasuki kamarku yang berada tidak jauh dari ujung anak tangga. Setelah
menemukan pintu hitam bertuliskan R-I-A-N, aku segera membukanya dan menutupnya
lagi serapat mungkin. Menandakan tidak ingin ada yang menggangguku malam ini. Melepas
jaketku dan meletakkannya di atas kasur. Kemudian, langkahku menuju pintu kaca
yang menghubungkan kamarku dengan balkon kamarku. Ternyata, di luar sudah turun
hujan. Hujan yang sama dan tidak akan pernah berubah.
Hanya
saja, perasaanku yang berubah. Perasaan yang memang semua gadis merasakannya.
Namun, yang terjadi padaku hanya perasaan yang salah. Salah mencintai laki-laki
yang menjadi kakakku.
Terkadang,
aku marah dengan takdir yang terjadi dalam hidupku. Terkadang aku marah pada
Mama yang memilih menikahi Papah dari Aaron. Terkadang, semua aku salahkan
termasuk diriku. Terkadang, aku membenci Aaron.
Selama
ini, aku menahan perasaanku dan mencoba menghilangkannya. Karena, memang pada
akhirnya aku yang sakit hati. Walaupun Aaron mengetahui perasaanku, tapi dia
juga sama. Sama-sama menahan perasaannya agar tidak terlalu jauh. Hingga dia
mencoba untuk memiliki kekasih. Yang selalu dia bawa ke rumah. Dan akan
membuatku cemburu dalam sekejap. Tidak denganku. Untuk mencari seseorang yang
akan aku jadikan kekasih saja sulit. Apalagi berpindah hati kepada seseorang.
Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Menandakan sebuah pesan masuk.
Rian, karena tidak ada yang bertahan
selamanya, bahkan dinginnya hujan di bulan November.
Aku memahami kata-katanya. Sontak aku
menoleh ke balkon sebelah, di mana terdapat Aaron berdiri di sana. Dia
tersenyum padaku, senyum yang sama denganku. Aku tahu, dia hanya mencoba untuk
menerima kenyataan. Kenyataan yang tidak akan pernah bisa menyatukan hati kami
berdua. Ponselku kembali bergetar. Pandanganku beralih ke ponsel, dan ternyata
pesan dari Aaron lagi.
Dan kita berdua tahu, hati dapat berubah
jika ada keinginan.
Aku
menatap lagi Aaron yang masih tersenyum. Dia masih menyukaiku, tapi tidak
sebesar pengakuannya dulu. Kini, dia lebih menyukai kekasihnya. Kekasih untuk
menutupi perasaannya padaku. Lalu, aku mengirim balasan untuknya.
Aku tahu, sulit untuk menutup hati yang
telah terbuka. Tapi, kemungkinan akan ku coba.
Hujan
November kali ini, perasaan ini
mungkin akan berubah. Aku harap seperti itu.
karya : Laelyta Ika
0 komentar :
Posting Komentar
Terimakasih komentar Anda! Kritik dan Saran sangat berarti bagi saya.