Petrichor Cinta [Cerpen]


Tema : Rindu Hujan
Aroma petrichor menyeruak dalam rongga hidungku. Aroma khas dari tanah yang basah akibat air hujan. Hujan yang selalu aku nantikan, selalu ku tunggu, dan selalu aku rindukan selama musim kemarau panjang ini. Tak ada lagi kata yang indah, selain mengucapkan syukur kepada Tuhan.

Aku berjalan menapaki tanah basah yang hampir kering karena sinar matahari mulai menyinari bumi. Hujan telah selesai dari sepuluh menit yang lalu. Membuatku ingin segera menikmati aroma yang terkenal ini.

Senyum tak pernah hilang dari wajahku yang tengah menyiratkan kebahagiaan. Ya, aku sangat bahagia akibat hujan ini aku dapat kembali menemukan apa yang pernah hilang selama beberapa bulan ini.

“Amanda!”

Tubuhku berbalik saat seseorang memanggil namaku. Pandanganku mencari-cari seseorang yang telah menyebut namaku. Dan aku mendapati seorang laki-laki yang tengah berjalan ke arahku seraya membawa payung yang sudah dilipatnya.

“Vian!” sapaku balik pada laki-laki yang sudah aku kenal selama 15 tahun ini.

Dia berlari ke arahku seraya tersenyum lebar. “Aku mencarimu, ternyata di sini.”

Aku tertawa geli, “tumben," ucapku seraya melipat tanganku dengan raut wajah jenaka yang aku tujukan pada Vian.

Vian meletakkan payungnya di sembarang tanah, kemudian dia mengikutiku yang tengah duduk di ayunan yang bergelantung pada batang pohon. Sesekali ku ayunkan tubuhku bersamaan dengan ayunan ini. Menikmati sisa-sisa udara dingin dan lembab akibat hujan.

“Kamu bahagia?” tanya Vian tiba-tiba. Dia kini berdiri di belakangku, mendorong tubuhku, membantuku berayun.

Aku mengangguk, kemudian tawa renyah terdengar dariku. “Aku bahagia, sangat bahagia! Vian, akhirnya, aku menemukan apa yang pernah hilang.”

“Ya. Akhirnya, petrichor asli dari hujan dapat kamu cium juga. Walaupun sejak dulu aku selalu membuat aroma petrichor yang palsu. Yah, untuk menghiburmu.” Vian ikut tertawa renyah.

Aku ingat saat aku benar-benar merindukan aroma ini, Vian mempunyai ide bahwa air dari kran air yang jatuh di atas tanah akan sama harumnya dengan petrichor yang berasal dari air hujan.

“Ya. Makasih, dulu kamu selalu menghiburku," ucapku seraya menatap ujung rok milikku.

“Aku tak keberatan jika aku mengulang hal itu lagi. Karena, semua yang aku lakukan padamu itu karena….”

Tubuhku berhenti berayun saat Vian menghentikan ucapannya. Telingaku sedikit sensitif dengan perkataan yang akan dikatakan oleh Vian tadi. “Karena … apa?” tanyaku penasaran.

“Karena, Amanda kan masih kecil, jadi butuh hiburan agar tidak menangis lagi.”

Aku menggeleng, bukan. Aku tahu, bahwa ini bukan jawaban sebenarnya. “Vian, jangan bohong deh. Apaan?” ucapku sedikit kesal. Bukan apa-apa, hanya saja, Vian terlalu jahil menggantungkan kata-katanya. Membuatku sangat penasaran. Memang laki-laki yang tidak lain adalah sahabat kecilku itu terkenal jahilnya, dia selalu membuatku mati penasaran akibat kata-katanya yang tidak meyakinkan untuk ditebak.

Vian berjalan menjauh dariku. Lalu mengambil payungnya yang sempat tergeletak di tanah. Kemudian dia melenggang pergi seraya bersiul-siul. Menyisakan diriku di sini yang masih terdiam akan sebuah penasaran.

“Vian! Jangan coba kabur!”

Aku berlari mengejar Vian yang sudah jauh dari jarakku berlari. Dia benar-benar memiliki kaki yang panjang. Karena dia berjalan sedangkan aku berlari namun jarak kami masih jauh.

“Vian!” gertakku halus. Aku lelah berlari, sejak dulu, lari bukanlah hal yang baik untuk diriku. “Berhenti! Aku lelah….”

Vian berhenti, namun tak membalikkan badannya. “Apa?” ucapnya masih tetap membelakangiku.

Tubuhku membungkuk dengan tangan bersangga pada lutut. Mengatur nafasku agar kembali normal. “Aku tidak bisa berlari lagi! Jadi, berhentilah! Jangan main kejar-kejaran seperti ini.”


“Aku dari tadi jalan, bukan lari," ucap Vian yang memang ada benarnya. "Jadi, Amanda nangis nih?” Vian tertawa seraya membalikkan tubuh tingginya.

“Vian! Jangan buat aku mati penasaran, aku tahu ini berlebihan, tapi, kamu sudah terlanjur membuatku penasaran. Sejak dulu, aku selalu benci sama hal-hal yang menggantung. Jadi, selesaikan kalimatmu yang benar. Bukan kebohongan.”

Langkah kaki Vian mendekatiku, dengan senyuman yang tak lepas dari wajah tampannya. Dia kini berdiri tepat di depanku. “Karena, Vian mencintai Amanda. Itu adalah jawaban yang sebenarnya. Maaf sudah membuatmu penasaran dan harus berlari untuk mengejarku. Aku ingin, kamu berkorban dulu, Nda.”

Aku rasa, wajahku sudah semerah tomat. Aku berjalan menjauhi Vian dengan wajah penuh malu. “Dasar! Vian jelek!” jeritku dengan menjauhkan wajahku yang semerah tomat ini pada Vian.

Sudah lama kami bersahabat, hingga pada akhirnya detik ini, pada hujan pertama ini, pada petrichor pertama ini, status kami berubah. Tidak ada yang spesial, hanya saja, petrichor kali ini membuatku lebih bahagia. 


karya : Laelyta Ika

0 komentar :

Posting Komentar

Terimakasih komentar Anda! Kritik dan Saran sangat berarti bagi saya.