Sophia, Gadis Yang Kesepian [Cerpen]


Tema : Horor
Aku tidak pernah tahu jika ada seseorang yang menempati rumah kosong di depan rumahku. Atau sejak kapan rumah kosong itu berubah menjadi rumah tidak kosong. Padahal, yang aku tahu, selama ini tidak ada truk pengantar barang yang berhenti di depan rumahku. Jika saja ada, aku pasti akan mengetahui karena jendela kamarku tepat menghadap ke gerbang rumah tersebut.

Bahkan, kini ada gadis cantik sedang mendekatiku dengan wajahnya yang penuh senyuman. Dia mendekatiku yang masih berdiri di samping pintu gerbangku. Lalu, tangannya terulur berniat berjabat tangan.

“Hai, namaku Sophia. Siapa namamu?”

Aku termangu. Bukan, bukan karena dia terlalu cantik. Tetapi, dia terlalu aneh untuk gadis di masa kini. “Ah, namaku Iren,” ucapku seraya meraih tangannya.

Dia tersenyum, menatapku dalam namun kosong. “Aku ingin berteman, apa kamu mau jadi temanku?”

“Tentu saja, kamu bisa berteman denganku mulai hari ini. Kita kan tetangga, jadi lebih mudah untuk sering bertemu,” ucapku senang.

“Baiklah. Kita akan bermain bersama.”

Aku hanya tersenyum tipis saat tiba-tiba hawa di sekitarku berubah mencekam. Entah itu perasaanku atau memang karena hujan besar akan segera tiba. Aku meninggalkan Sophia di luar saat suara Mama memanggilku. Dan saat aku berbalik untuk menyapanya kembali, dia sudah kembali ke rumahnya. Sekilat itu dan begitu saja.

**

Sophia bukanlah gadis yang sering kutemui di sekolahku. Dia berbeda. Dan dia sedikit kaku untuk seorang gadis. Juga, wajahnya yang cantik seperti orang Belanda. Dia mengakui bahwa ayahnya dari Belanda dan ibunya dari Indonesia. Maka dari itu dia menuruni fisik ayahnya.

Tetapi, yang masih aku herankan sampai saat ini, Sophia selalu menatap kosong jika dia menatap mataku. Aku tidak melihat kehidupan di kedua mata Sophia, seolah dia adalah gadis yang menyedihkan.

“Kamu tahu? Selama ini, aku hanya mempunyai kamu sebagai temanku, Iren.”

Aku terhenyak, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sophia. Gadis secantik dia tidak mungkin tidak memiliki teman, bahkan jika dia bersekolah di sekolahku, semua laki-laki akan tertarik padanya. Aku yakin itu.

“Tidak ada yang mau berteman denganku. Semua pergi. Bahkan, kedua orang tuaku.”

Lagi-lagi aku terhenyak, arti dari tatapan matanya memang benar. Dia gadis yang menyedihkan nan malang. Aku mendekatinya dengan hati-hati, mengusap tangan putih pucatnya.

“Kamu tenang, masih ada aku. Aku akan selalu ada buat kamu.”

“Aku percaya itu,” ucap Sophia.

Aku mengangguk, kemudian memeluk tubuhku yang terasa mulai merinding semenjak aku menginjakkan kaki di rumah Sophia. Rumah ini masih berhawa mencekam dan dingin. Aroma lumut dan usang masih tercium di indra penciumku.

“Sophia, rumahmu masih terlihat kotor. Apa, tidak sebaiknya kamu bersihkan?”

Sophia tersenyum simpul, dia kemudian menatapku. “Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, Iren.”

Aku mengangguk saja. Lagi pula, dia memang sukanya seperti ini dan aku tidak akan mengganggunya. Lalu pandanganku tertuju pada lukisan danau yang begitu indah yang tergantung di dinding. Lukisan tersebut sangat indah, bahkan seperti nyata.

“Ini danau yang sangat indah,” ucapku pada akhirnya seraya meraba-raba lukisan tersebut.

“Kamu suka? Kita akan ke sana sekarang.”

Aku berbalik, menatap Sophia dengan tanda tanya besar. “Sekarang? Apa perlu berjam-jam kita ke sana?”

“Hanya butuh satu detik untuk kita ke sana. Ikut aku.”

Mataku tidak terlepas dari gerak-gerik Sophia, dia kini menuju lukisan tersebut. Tangan kanannya menyentuh bagian tengah lukisan tersebut, kemudian dia memejamkan mata seraya menggenggam tanganku erat.

Aku tersentak saat tiba-tiba tubuhku seperti tersedot oleh lukisan ini dan seketika itu, saat aku membuka mata, hamparan danau lah yang kini ku lihat. Bukan lagi rumah Sophia dan lukisan yang menggambarkan danau di depanku ini.

“Apa ini? Apa yang kamu lakukan! Siapa kamu!” teriakku kencang, Sophia hanya tersenyum simpul.

Dia berjalan menuju tepi danau. Kemudian dia menoleh ke arahku dan mengarahkan telunjuknya pada sesuatu. “Lihatlah, gadis itu adalah gadis yang menyedihkan. Bahkan, gadis itu sampai bunuh diri akibat membenci kehidupannya.”

“Hentikan dia, jangan sampai bunuh diri!” teriakku mencoba berlari menuju ujung dermaga di danau ini.

“Sudah terlambat Iren. Gadis itu sudah mati.”

Aku berhenti berlari saat gadis tersebut terjun dengan mudahnya ke danau tersebut. Setelah itu, air danau berubah tenang seolah gadis tersebut tidak melakukan perlawanan. Dia pasrah dengan kematiannya.

“Sophia, aku benar-benar tidak tahu apa maksud dari semua ini!” teriakku lagi saat pikiranku kembali ke masalah utama.

“Maafkan aku Iren. Inilah tempat kita bermain sekarang. Kamu sudah berjanji akan selalu ada untukku, dan kamu berjanji akan menjadi temanku bermain. Jadi,” ucapan Sophia terhenti. Dia menatapku dengan tatapan kosongnya. “Bermainlah denganku di sini.”

Aku terduduk lemas saat mengetahui diriku tidak lagi ada di duniaku. Maksudku, dalam duniaku, aku sudah tidak bernyawa lagi. Aku baru menyadari bahwa firasat burukku selama ini adalah karena aku tak lagi bernyawa semenjak Sophia mengatakan ‘kita akan bermain bersama’.

Aku menangis di sini, menangisi kebodohanku yang terlalu tidak dapat aku tebak. Tidak pernah aku menginginkan akan mati seperti ini. Bahkan, tidak pernah aku bayangkan sebelumnya bahwa aku meninggalkan Mama, Papa bahkan semua orang yang aku sayangi secepat ini.

Hanya untuk bermain dengan Sophia, gadis yang kesepian, yang sangat membutuhkan teman.

Untuk kalian, lebih berhati-hatilah memilih teman. Jangan salah berteman sepertiku dan pada akhirnya aku telah mengorbankan nyawaku sendiri.


karya : Laelyta Ika


0 komentar :

Posting Komentar

Terimakasih komentar Anda! Kritik dan Saran sangat berarti bagi saya.